Minggu, 24 Juli 2011

NASIONALISASI REGULASI

NASIONALISASI REGULASI

Oleh: Ibnu Abdillah
Reformasi 1998 telah menjadi kenangan, namun cita-cita reformasi hanyalah menjadi simbol penggulingan kekuasaan semata. Reformasi yang menelan banyak korban ternyata harus kita akui belum mampu menjawab segala persoalan bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia kini sedang berada di tengah-tengah arus globalisasi yang sangat deras. Sampai-sampai tak ada satu orang pun dari pejabat kita yang bisa membendung arus globalisasi itu. Ketidak mampuan para pejabat kita dalam membendung arus globalisasi ditandai dengan konstitusi kita yang sudah di-deregulasi (ditimpangkan). Ketimpangan yang dimaksud adalah ketidak sesuaian antara asas bangsa kita (Pancasila) dengan UUD dan UU.
            Pancasila adalah idiologi bangsa kita untuk menciptakan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Tidak ada satu sila pun yang bertentangan dengan nilai-nilai kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Namun akibat terjangan arus globalisasi yang identik dengan liberalisasi ekonomi mengakibatkan ketimpangan dalam konstitusi bangsa Indonesia. Hal ini bisa kita lihat dengan jelas pada sila kelima yang menyatakan keadilan sosial yang bermakna bahwa setiap individu masyarakat mempunyai hak yang sama (tidak memandang strata sosial) untuk memperoleh kesejahteraan, kemudian dalam UUD 1945 Pasal 33 yang menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, akan tetapi dengan adanya UU Penanaman Modal Asing mengakibatkan distorsi cita-cita Pancasila itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan deregulasi konstitusi yang menyebabkan hilangnya arah idiologi bangsa Indonesia.
            Sudah banyak elemen-elemen masyarakat maupun gerakan mahasiswa yang menyuarakan tentang kondisi bangsa saat ini yang sudah terjangkit virus Neoliberal. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia misalnya, beberapa waktu yang lalu telah mengambil kesimpulan bahwa pemerintah Indonesia saat ini (SBY-Boediono) betul-betul telah menjadi antek-antek Neoliberal. Banyaknya kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat telah cukup untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia saat ini sudah betul-betul kronis. Mengapa ?
            Akibat deregulasi konstitusi yang berkiblat pada paham Neoliberal adalah hilangnya asset-aset bangsa yang mana asset bangsa itu adalah modal dasar untuk menciptakan masyarakat sejahtera. Dengan jatuhnya asset bangsa ke tangan Asing maka masyarakat Indonesia hanya menjadi babu dan buruh yang dikendalikan oleh Asing secara tidak adil. Ini adalah sebuah penjajahan yang lebih rapih.
            Selain asset-aset bangsa yang dikuasai oleh asing, semua sistem yang ada di Indonesia sudah liberal maka disadari atau tidak telah membentuk kebudayaan baru pada masyarakat. Yakni budaya buruh, budaya babu, budaya konsumeris, budaya hedonis dan budaya individualis. Kalau sudah demikian yang terjadi adalah hukum rimba (saling menindas antar sesama manusia demi kepuasan pribadi).
            Berbicara hukum rimba, kalau hukum rimba tumbuh subur dalam birokrasi pemerintahan maka akan melahirkan koruptor-koruptor yang ganas. Dan hal ini pun bisa kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa begitu menjamurnya budaya suap dan budaya korupsi dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Sadar ataupun tidak, lagi-lagi yang menelan pil pahit akibat hal tersebut adalah rakyat miskin yang bodoh, rakyat miskin yang tidak bisa berbuat apa-apa, dan rakyat miskin yang bingung harus melakukan apa untuk bisa bertahan hidup.
            Hukum rimba yang terjadi dalam masyarakat juga ternyata cukup besar dampak negatifnya yaitu lahirnya manusia-manusia yang egois, serakah dan tidak punya arah. Mari kita tengok di sekitar kita, masih banyak orang-orang yang tidak mampu, masih banyak para pemuda pengangguran bahkan kasus-kasus yang menandakan degradasi moral semakin banyak di lingkungan sekitar kita.

Jebakan Neolib
            Ternyata kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang semakin memburuk ini adalah akibat jebakan para Neolib agar tidak ada lagi masyarakat yang sadar akan ketertindasannya. Masyarakat Indonesia telah dijajah dengan cara yang lebih rapih dan sistematis sehingga wajar ketika kebanyakan masyarakat tidak merasakan ketertindasan. Padahal jelas-jelas bahwa sudah tidak ada lagi asset bangsa yang dikuasai oleh bangsa Indonesia sendiri. Contohnya sangat banyak, diantaranya Pertamina (70% dikuasai oleh asing), Tambang Emas (100% dikuasai oleh asing), Tambang Batubara (70% dikuasai oleh asing), dan masih banyak lagi. Ini adalah bentuk penjajahan karena secara otomatis masyarakat kita hanya bekerja untuk asing dengan upah yang sedikit, padahal kekayaan alam itu milik bangsa Indonesia. Sangat ironis sekali ketika masyarakat tidak bisa menikmati hasil kekayaan alamnya sendiri.
            Strategi Neolib untuk menidurkan kesadaran masyarakat agar tidak ada yang sadar akan ketertindasannya adalah dengan berbagai cara, diantaranya melalui pendidikan, media, dan pasar. Dalam hal pendidikan, para Neolib menerapkan sistem pendidikan yang menciptakan para pekerja, bukan menciptakan paradigma masyarakat yang produktif, sehingga seperti yang kita lihat sekarang ini faktanya dalam dunia pendidikan. Kemudian dalam hal media, Neolib selalu mempola masyarakat untuk berbudaya konsumtif, dan hedonis dengan melalui tayangan-tayangan televise, media cetak, maupun radio. Dan yang terakhir dengan melalui pasar, Neolib dengan modalnya memonopoli pasar sehingga masyarakat pedagang kecil semakin tersingkirkan dari pasar. Contohnya, dengan pendirian alfamart, indomart, yomart, giant, dan supermarket-supermarket lainnya yang didirikan di setiap sudut kota dan desa telah mengakibatkan tergesernya minat konsumen untuk membeli di pasar tradisional. Akibatnya yang diuntungkan adalah si pemilik modal yang memonopoly modalnya untuk menggeser pedagang kecil. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.
            Inilah strategi Neolib untuk menghancurkan masyarakat Indonesia demi kepentingan kantong pribadinya. Strategi yang sangat sistematis dengan masuk ke setiap aspek kehidupan dari mulai sistem pendidikan, media, sistem pasar sampai dengan sistem politik, sehingga tidak membangunkan masyarakat untuk menyadari akan penjajahan gaya baru ini.

Lalu Bagaimana?
            Jawaban atas kondisi bangsa saat ini untuk mencapai sebuah Negara yang adil, makmur dan sejahtera adalah Revolusi. Karena ini menyangkut hal-hal yang sangat mendasar, yaitu konstitusi yang banyak ditimpangkan. Revolusinya adalah regulasi konstitusi dengan tetap kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. serta untuk menhindari adanya deregulai lagi maka bangsa Indonesia terlebih dahulu harus lepas dari perjanjian WTO (World Trade Organisation) karena untuk melindungi pengaruh asing terhadap asset-aset bangsa yang potensial. Setelah terlepas dari segala perjanjian-perjanjian asing tersebut (WTO, AFTA, FTA, World Bank, dll) maka barulah disusun konstitusi yang berkiblat pada ruh Pancasila dan Preambule UUD 1945. Revolusi seperti inilah yang menurut saya bisa menjawab segala persoalan bangsa saat ini yang semakin kompleks.
            Kemerdekaan adalah syarat utama untuk bangsa yang ingin maju dan berkembang. Ketika keadilan dan kesejarteraan belum tercapai pada masyarakat Indonesia maka belum bisa dikatakan merdeka. Karena sejatinya merdeka adalah terlepas dari segala bentuk penindasan. Neokolonialisme, Neoimperialisme, dan Neoliberalisme adalah bentuk penjajahan baru, yaitu penjajahan yang sangat rapih dan tidak terasa secara lahiriah dalam waktu yang singkat. Bisa dikatakan ini adalah bentuk penjajahan yang perlahan-lahan akan membunuh manusia dengan cara yang tidak anarkis. Berbeda dengan penjajahan kolonial zaman dahulu yang menggunakan kekerasan fisik secara langsung.

Penulis* Ketua GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar